Pertanyaan dari:
Kus Anwaruddin, Sekretaris PC Pemuda Muhammadiyah Tersono
Mangunsari, Tersono, Batang, Jawa Tengah
Pertanyaan:
Sebagai warga
Muhammadiyah walaupun belum punya KTA saya ingin menanyakan beberapa hal yang
selama ini menjadi ganjalan dalam benak saya:
1.
Bagaimana sikap
resmi PP Muhammadiyah mengenai tradisi Upacara Tahlilan dalam rangkaian upacara
kematian?
2.
Sebagai warga
Muhammadiyah bagaimana sikap saya bila diundang dalam upacara tahlilan yang di
dalamnya ada jamuan makanannya? (Biasanya makanan tersebut dikumpulkan oleh
warga RT/jamaah lalu diserahkan kepada keluarga yang terkena musibah dan
selanjutnya dimakan bersama dalam upacara tahlilan tersebut).
3.
Apa hukumnya
bila saya menghadiri undangan tahlilan tersebut dengan alasan untuk kerukunan
sebagai warga masyarakat? (Perlu diketahui bahwa, sepengetahuan saya di daerah
saya masih banyak para PCM yang menghadiri undangan tahlilan tersebut).
4.
Apa pula
hukumnya makan bersama dalam perjamuan tahlilan tersebut dengan alasan yang
meninggal dunia tidak punya anak yatim / anaknya sudah dewasa dan sudah
berkeluarga semua serta makanan tersebut berasal dari para jamaah tahlil yang
hadir/dari warga RT? (Biasanya hal ini sudah menjadi program RT).
Saya sangat
mengharapkan atas jawaban yang memuaskan dan disertai dalil-dalil yang sohih
sehingga sebagai warga Muhammadiyah saya tidak ragu-ragu dalam melaksanakan
ibadah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah saw.
Atas jawabannya saya ucapkan terima
kasih.
Jawaban:
Sebelumnya
perlu kami sampaikan bahwa pertanyaan yang saudara sampaikan sudah sangat
sering ditanyakan dan sekaligus dijawab dalam rubrik fatwa agama ini. Di antaranya adalah seperti yang ditanyakan oleh Saudara
Ruslan Hamidi, Moyudan, Sleman (SM No. 11 Th. Ke-88/2003), Ferry al-Firdaus,
Cilawu Garut (SM No. 24 Th. Ke-90/2005) Tamrin Mobonggi, Limbato, Gorontalo (SM
No. 3 Th. Ke-92/2007). Saudara dapat membaca secara lengkap dalam edisi-edisi
Majalah Suara Muhammadiyah sebagaimana yang kami sebutkan.
Namun demikian, tidak ada salahnya
kami jelaskan kembali secara ringkas tentang persoalan tahlilan tersebut, agar
saudara dapat lebih mudah
memahaminya.
Jika yang
dimaksudkan tahlil adalah membaca “La Ilaha illa Allah” (tiada Tuhan selain
Allah), Muhammadiyah tidak melarang, bahkan menganjurkan agar memperbanyak
membacanya, berapa kali saja, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam
al-Qur`an disebutkan:
فَاذْكُرُونِي
أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ [البقرة (2):152]
Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu
kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” [al-Baqarah
(2):152]
Disebutkan pula pada ayat-ayat lain seperti QS. al-Ahzab
(33): 41, QS. al-An’am (6): 19, QS. al-Ikhlas (112): 1-4, QS. Muhammad (47):
19.
Perintah berzikir dengan menyebut Lafal Jalalah (La Ilaha
illa Allah) dalam hadits-hadits pun banyak diungkapkan, misalnya hadits riwayat
Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشَرَ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ
مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا
مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ
مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ
وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْحَرِّ. (رواه مسلم، كتاب الذكر، باب فضل التهليل،
نمرة: 28/2691)
Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah; Bahwa Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa mengucapkan ‘La ilaha illa Allah wahdahu la
syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai`in qadir’,
dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka (lafal jalalah tersebut) baginya
sama dengan memerdekakan sepuluh hamba sahaya, dan dicatat baginya seratus
kebaikan, dan dihapus daripadanya seratus kejahatan, dan lafal jalalah tersebut
baginya menjadi perisai dari syaitan selama satu hari hingga waktu petang; dan
tidak ada seorang pun yang datang (dengan membawa) yang lebih afdal, daripada apa
yang ia bawa (ucapkan), kecuali orang yang mengerjakan lebih banyak dari itu.
Dan barangsiapa mengucapkan ‘subhana-llah wa bi hamdih’ (Allah Maha Suci
dan Maha Terpuji) dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka dihapus
kesalahan-kesalahannya, sekalipun seperti buih air panas yang mendidih.”
[Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No.
28/2691]
Disebutkan pula pada hadits-hadits lain seperti hadits
riwayat al-Bukhari dari ‘Itban ibn Malik, dalam Shahih al-Bukhari, Kitab
as-Shalah (420), Bab al-Masajid fi al-Buyut dan hadits
riwayat Muslim dari Abu Hurairah, dalam Shahih Muslim, Kitab az-Zikr,
Bab Fadlut-Tahlil, No. 32/2695.
Ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits tersebut memberikan
pengertian bahwa memperbanyak membaca tahlil adalah termasuk amal ibadah yang
sangat baik, sehingga mereka yang memperbanyak tahlil dijamin masuk surga dan
haram masuk neraka. Tentu saja tidaklah cukup hanya mengucapkannya, atau
melafalkannya saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan
merealisasikannya dalam kehidupan keseharian. Yaitu dengan memperbanyak amal shalih
dan meninggalkan segala macam syirik. Jika masih berbuat syirik, dan tidak
beramal shalih, sekalipun membaca tahlil ribuan kali, tidak ada manfaatnya.
Maka yang sangat penting sebenarnya ialah bahwa tahlil itu harus benar-benar
diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya.
Maka yang
dilarang menurut Muhammadiyah adalah upacaranya yang dikaitkan dengan tujuh
hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya.
Selamatan tiga
hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh
budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu
berakar dalam masyarakat kita. Karena hal itu ada hubungan dengan ibadah, maka
kita harus kembali kepada tuntunan Islam. Apalagi, upacara semacam itu harus
mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau
saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir). Seharusnya,
ketika ada orang yang meninggal dunia, kita harus bertakziyah/melayat dan
mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil membawa
bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. Pada waktu Ja'far bin
Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi saw menyuruh kepada para
shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja'far, bukan datang ke rumah
keluarga Ja'far untuk makan dan minum.
Perlu diketahui
pula, bahwa setelah kematian seseorang, tidak ada tuntunan dari Rasulullah saw
untuk menyelenggarakan upacara atau hajatan. Yang ada adalah tuntunan untuk memberi
tanda pada kubur agar diketahui siapa yang berkubur di tempat itu (HR. Abu
Dawud dari Muthallib bin Abdullah, Sunan Abi Dawud, Bab Fi Jam'i al-Mauta fi
Qabr ..., Juz 9, hlm. 22), mendoakan atau memohonkan ampun kepada Allah SWT
(HR. Abu Dawud dari 'Utsman ibn 'Affan dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim,
Sunan Abi Dawud, Bab al-Istighfar 'inda al-Qabr lil-Mayyit ..., Juz 9,
hlm. 41) dan dibolehkan ziarah kubur (HR. Muslim dari Buraidah ibn al-Khusaib
al-Aslami, Bab Bayan Ma Kana min an-Nahyi ..., Juz 13, hlm. 113).
Berdasarkan
keterangan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan:
1.
Sebagai warga
Muhammadiyah sikap yang harus diambil adalah menjauhi atau meninggalkan
perbuatan yang memang tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah saw dan
sekaligus memberikan nasehat dengan cara yang ma'ruf (mauidlah hasanah)
jika masih ada di antara keluarga besar Muhammadiyah pada khususnya dan umat
Islam pada umumnya yang masih menjalankan praktek-praktek yang tidak
dituntunkan oleh Rasulullah saw tersebut.
2.
Dalam menjaga
hubungan bermasyarakat, menurut hemat kami tidaklah tepat jika tolok ukurnya
hanya kehadiran pada upacara/hajatan kematian. Namun, kegiatan-kegiatan kemasyarakatan
lain, seperti rapat RT, kerja bakti, ronda malam (siskamling), takziyah dan
lain-lain juga perlu mendapat perhatian. Dengan aktif mengikuti
kegiatan-kegiatan tersebut, insya Allah, ketika kita hanya meninggalkan satu
kegiatan saja (tahlilan/hajatan tersebut) tidak akan membuat kita dijauhi oleh
masyarakat di mana kita tinggal.
3.
Mengenai makan
dan minum pada perjamuan tahlilan, sekalipun makanan dan minuman tersebut
berasal dari para warga RT, namun tetap saja dapat digolongkan pada perbuatan tabzir,
sehingga layak untuk ditinggalkan.
Wallahu a'lam bish-shawab.
*)
Sumber :
Pimpinan
Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com http://tarjihmuhammadiyah.blogspot.com
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Komentar yang cerdas dan santun.